Berita Rakyat Jakarta - Satu-persatu jenderal polisi yang selama ini dikenal kontra dengan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab dicopot dari posisinya.
Setelah sebelumnya Irjen M. Iriawan digeser dari jabatan Kapolda Metro Jaya, kini giliran Kapolda Jawa Barat Irjen Anton Charliyan yang dimutasi ke Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri.
Posisi yang ditinggalkan Anton Charliyan akan diisi Irjen Agung Budi Maryoto yang sebelumnya menjabat Kapolda Sumatera Selatan.
Seperti yang dihimpun dilapangan, Rizieq Syihab ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan chat mesum dengan Firza Husein oleh penyidik Polda Metro Jaya di masa Irjen Iriawan.
Penetapan tersangka tersebut, hanya selang beberapa hari setelah Polda Jabar menetapkan Rizieq sebagai tersangka penista Pancasila atas laporan Sukmawati Soekarnoputri. Rizieq dianggap melecehkan dasar negara karena menyebut “Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat”.
Ucapan Rizieq yang merupakan tesis S2-nya, merujuk pada konsep awal Pancasila versi Bung Karno di mana Sila Ketuhanan ada di nomor 5, bukan nomor 1 seperti saat ini.
Rizieq Syihab sempat menjalani pemeriksaan sebagai tersangka penista Pancasila di Mapolda Jabar, pada tanggal 13 Februari 2917.
Namun Rizieq menolak ketika dipanggil sebagai saksi kasus dugaan chat mesum dan memilih pergi ke Arab Saudi. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada 29 Mei 2017, Rizieq juga ditetapkan sebagai tersangka pornografi oleh Polda Metro Jaya.
Upaya penyidik Polda Metro memburu Rizieq kandas karena permohonan ke Interpol agar Rizieq dimasukkan dalam daftar buronan internasional, ditolak. Rizieq pun menjalani hari-harinya di Tanah Suci Mekkah sambil sesekali mengirim ancaman akan mengguling Presiden Joko Widodo melalui revolusi putih.
Polisi pun kesulitan menghadirkan Rizieq. Sementara peta politik di tanah air mulai berubah. Diawali dengan pertemuan pentolan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI dengan Presiden Jokowi di sela-sela acara open house Idul Fitri 2017, angin perubahan berhembus kencang.
Pada saat itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sempat mengutarakan niatnya untuk mundur dari kepolisian karena ingin menjalani kehidupan yang jauh dari tekanan pekerjaan.
Tak pelak pernyataan Tito menimbulkan polemik dan dikaitkan dengan perubahan politik Istana. Tito akhirnya “meralat” pernyataannya dengan menjelaskan niat tersebut bukan untuk saat ini. Setelah itu, Kapolri melakukan serangkaian mutasi di tubuh Kepolisian, termasuk menggeser posisi Irjen Iriawan dan kini Anton Charliyan.
Tentu mutasi, termasuk mutasi Kapolda Jabar, adalah bagian dari penyegaran organisasi sebagaimana dikatakan Kepala Bagian penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Martinus Sitompul dan dirilis kompas.com (25/8/17).
Namun tidak salah juga jika publik menilai ada “sesuatu” di balik tour of duty tersebut selain penyegaran. Berdasar kelaziman selama ini, pergeseran perwira-perwira Kepolisian dan TNI selalu memiliki keterkaitan dengan situasi politik dan keamanan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan asumsi itu, bisa saja pencopotan Anton Charliyan terkait kisruh penerimaan calon anggota Polri secara terpadu untuk Akpol, Bintara dan Tamtama 2017 di mana Anton menerbitkan kebijakan- namun belakangan yang bersangkutan membantah, tentang kuota putra daerah dan pendatang.
Tetapi bisa juga karena terkait perubahan kebijakan terhadap Rizieq Syihab. Terlebih Mabes Polri tengah mempertimbangkan dikeluarkannya SP3 untuk Rizieq setelah yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi oleh penyidik Polda Metro Jaya di Arab Saudi.
Apapun dalih dan alasan-alasan yang mendasarinya, yang pasti dua Kapolda “pemburu” Rizieq sudah digeser. Tentu ini kemenangan bagi Rizieq dan kelompoknya karena berhasil menggiring opini jika kasus yang disangkakan beraroma politis sehingga kemungkinan penyelesaiannya tidak lagi akan dilakukan melalui jalur hukum, melainkan kebijakan politik Istana.
Sumber: Yon Bayu
penulis politik dan novelis