Caption: Ilustrasi keunikan beragama di India, sumber foto google |
Berita Rakyat, Surabaya. India mengeluarkan Undang-undang yang melarang warga sipil pindah agama. Peraturan tersebut mengundang protes dari Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF).
USCIRF menilai regulasi itu dibuat untuk menindas dan melecehkan umat minoritas kristen dan muslim di beberapa negara bagian India. Badan itu pun mendesak agar UU kontroversial itu dicabut.
"Undang-undang anti-pindah agama tingkat negara bagian India melanggar perlindungan hukum hak asasi manusia internasional atas hak kebebasan beragama atau berkeyakinan," demikian pernyataan komisi tersebut, seperti dikutip Voice of America (VOA), Kamis (23/3/2023).
"Mereka secara tidak langsung membatasi dan menghukum hak individu untuk bertobat dan hak untuk mengajak atau mendukung individu lain untuk bertobat secara sukarela."
Sebagaimana dirilis dari CNNIndonesia, Kritikan itu muncul setelah pemerintah India mulai gencar mengeluarkan undang-undang anti-pindah agama tingkat negara bagian India sejak beberapa waktu lalu. Sebanyak 12 dari 28 negara bagian India sudah memberlakukan regulasi tersebut.
Beberapa negara bagian lain pun kini tengah mempertimbangkan untuk mengadopsi undang-undang itu.
Negara yang mengadopsi aturan ini mengklaim UU anti-pindah agama dibuat untuk mengatasi perpindahan agama tanpa persetujuan.
Namun USCIRF memandang beberapa aturan dalam beleid tersebut di antaranya larangan pindah agama, persyaratan pemberitahuan, dan ketentuan pengalihan beban pembuktian "tidak konsisten dengan perlindungan hukum HAM internasional untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan."
Menurut badan itu, beberapa fitur melanggar hak-hak yang dilindungi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Padahal, India telah menandatangani deklarasi tersebut sejak 1942 dan telah meratifikasi perjanjian tersebut pada 1979.
Penegakan undang-undang anti-konversi tingkat negara bagian menunjukkan maksud undang-undang adalah untuk mencegah perubahan agama ke agama yang tidak disukai, seperti Kristen dan Islam, dan bukan untuk melindungi dari perubahan agama secara paksa," demikian bunyi pernyataan USCIRF.
PM India Narendra Modi berasal dari partai sayap kanan India, Bharatiya Janata. (Money SHARMA / AFP)
Aktivis hak-hak Yesuit yang berbasis di Gujarat, Cedric Prakash, mengatakan Pasal 25 Konstitusi India menjamin bahwa setiap orang punya hak untuk secara bebas berkhotbah, mempraktikkan, dan menyebarkan agama mereka.
"Namun undang-undang anti-konversi yang kejam melanggar hak-hak dasar warga negara India. Undang-undang anti-konversi jelas dimaksudkan untuk menindak minoritas agama India, terutama muslim dan kristen," ujar Prakash kepada VOA
Ia kemudian melanjutkan, "Mereka juga dimaksudkan untuk mempolarisasi orang-orang di garis agama dan untuk melegitimasi mayoritas di negara ini."
Meski begitu, para pemimpin partai yang berkuasa di India bersikeras bahwa undang-undang anti-konversi ini telah diberlakukan guna "menyetop konversi yang dilakukan dengan tindakan koersif".
"Di India, banyak orang yang pindah agama oleh janji pernikahan, uang, dan juga cara-cara tak etis lainnya. Undang-undang anti-pindah agama dimaksudkan untuk menghentikan praktik ilegal semacam itu," kata pemimpin senior Partai Bharatiya Janata, Alok Vats, kepada VOA.
"Tentu saja, kami tidak punya masalah dengan pindah agama secara sukarela. Tidak ada yang bisa menantang kebebasan seseorang yang mengubah agama secara sukarela."
Sejumlah kelompok Hindu dan pemimpin partai nasionalis Bharatiya Janata sebelumnya menuding bahwa misionaris kristen mengajak orang-orang di India memeluk agama tersebut melalui daya pikat, penggunaan kekuatan, dan cara-cara curang.
Selama beberapa waktu tahun terakhir, mereka juga mengklaim bahwa para Muslim mengubah warga India menjadi Islam melalui cara yang tak adil.
Penulis : cak met Editor : Redaksi
Baca juga: