Oleh : Andi Purnama
Setiap tahun ajaran baru, orang tua yang memiliki putra
putri yang akan masuk ke jenjang sekolah pada tingkat SMP dan SMA Sederajat,
mengalami keresahan dan kekhawatiran akan tidak diterimanya anak mereka pada sekolah
negeri yang dituju dengan kebijakan harus berdekatan dengan kediaman tempat
tinggal mereka. Berharap kekisruhan pada pada tahun 2019, 2020 yang lalu dapat
dikaji dan diperbaiki sistem dan mekanisme pendaftaran, sehingga tidak terjadi
berulang di tahun mendatang.
Modus pengambilan keuntungan yang dilakukan para oknum mulai
dari kepala sekolah, komite dan pengawas kabupaten/propinsi penerimaan siswa
baru tersebut, dimulai dengan membaca dan menterjemahkan pola alur kelemahan
mekanisme sistem informasi online, yang diterapkan pada pendaftaran peserta
didik baru di setiap daerah di kabupaten dan kota. Dan realitas ini sangatlah
diketahui oleh Pengawas Pendidikan Kabupaten/Propinsi yang ada di setiap
kabupaten dan kota, bagaimana caranya hal tersebut menjadi ruang celah
permainan baru dalam skema jual beli dan pungli dalam mendapatkan bangku
sekolah negeri, yang seharusnya menjadi review perbaikan maupun evaluasi sistem
informasi, dari pengalaman pelaksanaan 3 tahun lalu, bagaimana proses kebijakan
dan peraturan pemerintah ini berjalan, dengan tidak membuat celah-celah korupsi
model baru di dunia pendidikan.
Permainan jual beli bangku dan pungli dalam Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) sudah menjadi hal yang tidak rahasia lagi di mata
masyarakat. Dan semuanya membungkan akan praktek yang telah terjadi sekian
tahun ini dengan adanya metoda pendaftaraan peserta didik dengan penerapan
sistem baru ini. Sistem yang diciptakan seolah menjadi hal yang dianggap
keterbukaan di mata masyarakat, bahwa sistem telah dapat menjadikan pola baku
perhitungan bagaimana anak dan orang tua dapat memantau proses masih bertahan
atau tersisihkan nama peserta didik dalam list yang diterima dalam satu proses
pendaftaran sekolah. Bila si anak telah terdepak dan gagal dalam list penerimaan
online, mulailah orang tua menjadi resah khawatir akan bagaimana selanjutnya
langkah mencari dan mendaftar anaknya di sekolah lain yang juga sudah mulai
tertutupnya pendaftaran sekolah-sekolah lainnya. Panitia PPDB di depan sekolah
akan kompak bahwa pendaftran sudah ditutup semua, bangku sudah terisi penuh dan
itu hanya modus saja. Supaya menaikkan nilai tawar dan harga jual bangku (tanpa
menjelaskan sisi informasi yang lainnya, yang memang sisa pendaftaran merupakan
hak penuh sekolah untuk mengatur penerimaan subyektifitasnya), inilah yang
dimainkan.
Analisa di mana celah permainan jual beli dan pungli yang
terjadi dalam pendaftaran anak peserta didik baru, pertama diawali dengan
sekolah memberikan pagu siswa yang didaftarkan kepada Dinas Pendidikan sampai
ke tingkat propinsi yang akan diakomodir sebagai jumlah siswa yang akan
dijadikan program sistem online pendaftaran dan tercantum resmi di laman
website PPDB. Misalkan saja salah satu SMAN di Banyuwangi, dalam menerima
peserta didik mencantumkan pagu jumlah siswa baru yang diterima sebagai
pengumuman resmi sejumlah PAGU siswa 266 siswa yang bakalan diterima secara
online, dengan asumsi perhitungan bahwa sekolah tersebut akan menerima siswa
dengan kapasitas 9 Kelas (setiap kelas berarti akan diisi ± 30 siswa).
Sedangkan perhitungan dalam pertimbangan afirmasi, perpindahan tugas, prestasi
lomba merupakan hak subyektifitas sekolah dalam menerima calon siswa, dan
kenyataan inilah yang dipermainkan dan diketahui banyak pihak sebagai ladang
posisi tawar jual bangku oleh oknum-oknum penyelenggara sekolah dan dibawah
koordinasi sekolah bahkan disinyalir sepengetahuan sampai Dinas Pendidikan
Kabupaten hingga Propinsi.
Banyangkan 1 sekolah saja bisa varian sampai 5 siswa berarti
bisa 45-50 kursi yang dapat dikondisikan jelas-jelas dijual dalam posisi tawar.
Bila posisi tawar penjualan bangku dan pungli diangka rata-rata 3-4 juta bahkan
ada diatas jauh dari itu, berarti satu sekolah bisa korupsi mencapai angka 200
juta lebih. Dan semua pihak sampai Dinas Propinsi kejadian hal ini telah banyak
tahu. Dan seolah tutup mata dan itu hanya baru satu sekolah. Bagaimana bila
posisi sekolah yang dianggap masyarakat mempunyai nilai pandang lebih karena
subyektifitas sekolah tersebut sarpras dan lingkungannya lebih baik, pastilah
sekolah tersebut akan mempunyai bargaining untuk jual bangku dan pungli lebih
besar lagi dan mahal, padahal hal itu aset negara, dijadikan ladang korupsi.
Mereka yang tidak dapat diterima bukanlah dikarenakan
kemunduran/kelemahan siswa dalam hal prestasi
dan akademik, namun mereka tidak diterima karena korban sistem yang
bukan lagi pada kompetisi, tetapi sistem dimana alogaritmanya tidak
menguntungkan yang diterapkan saat ini. Sehingga orang tua merasa panik
khawatir jika anaknya tidak dapat diterima sekolah, dan harus menanggung
psikologi dan beban traumatis anak, seolah sudah tertutup penerimaan dan tidak
dapat bersekolah. Orang tua akan berjuang bagaimanapun juga psikologi anak
tidak boleh menangis karena tidak ada bangku lagi untuk menerimanya.
Inilah peluang yang sangat jahat, dimanfaatkan oleh
mafia-mafia pendidikan dalam memperjualbelikan bangku sekolah. Korban sistem
yang seolah transparan, padahal tidak sepenuhnya transparan, ruang
subyektifitas yang masih besar, menjadi ranah permainan yang sangat diketahui
bersama, mulai dari Panitia Penyelenggara, Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan
Kabupaten dan Dinas Pendidikan Propinsi, sangatlah mengetahui kejadian ini.
Bila 1 sekolah berhasil meraup dana pungli dan jual beli bangku sejumlah 200
juta, puluhan milyar total angka permainan korupsi dalam pendaftaran peserta
didik baru dalam 1 tahun, bancakan para oknum mafia.
Orang tua yang menjadi korban dari permainan mafia-mafia
pendaftaran peserta didik ini merasa diam tak bersuara, dalam membela
kepentingan anak supaya tidak menjadi traumatis mendalam si anak, seolah
menjadi orang yang kalah bukan karena kompetisi yang fairnes, tapi korban
karena sistem, bahkan menjadi bulan-bulanan penyelenggara dan penanggung jawab
sektor/bidang pendidikan (mulai dari sekolah, dinas kabupaten, dinas propinsi).
Seolah mereka korban kecelakaan lalu lintas, yang akan ditolong bila memiliki
kecukupan dana dan jaminan dari si korban.
Sistem Informasi dapat lebih baik dalam pengelolaan
penerimaannya, bila titik beratnya adalah daerah zonasi, posisi pendataan awal
(data peserta didik dan minat melanjutkan jenjang) dapat menjadi ruang analisa
yang lebih cermat teliti, juga daerah-daerah mana saja pada posisi tempat
tinggal siswa yang mengalami blank spot (daerah tidak terakomodir zona).
Pendataan awal dalam minat siswa akan masuk ke SMA Umum, Kejuruan sudah teridentifikasi pada
waktu semester akhir siswa akan lulus dari sekolah SD maupun SMP. Real bangku
benar-benar obyektif terdata, bukan hanya bersifat pagu yang realitasnya sangat
melebihi pagu resmi di website pendaftaran, dan pada akhirnya sisa yang ada
(selain pagu) akan menjadi bancakan pungli dan setoran jual beli bangku bangku,
siapa yang berani bayar pada mafia-mafia PBDB, (sudah menjadi rahasia umum)
akan diutamakan mendapatkan prioritas bangku.
Persaingan dan rasa kompetisi yang membangun karakter
anak-anak bangsa telah tiada, yang ada adalah sistem informasi yang menimbulkan
satu kelompok mafia-mafia baru dalam bidang layanan pendidikan, yang dimana
seharusnya dunia pendidikan menjadi barometer dalam mencetak generasi muda yang
jujur, unggul, berprestasi, berkompetisi malah menjadi contoh awal, dimana para
oknum-oknum guru yang dikoordinir oleh kepala sekolah menjadi pemain baru dalam
merusak wajah pendidikan anak-anak bangsa, ladang pungli dan korupsi yang
terkoordinasi dari bawah, daerah sampai pusat propinsi.
Mereka tidak segan ataupun malu lagi dengan remunerasi peningkatan
gaji-gaji guru yang ASN, kesejahteraan mereka sudah jauh lebih baik dari pada
guru jaman dahulu yang benar benar mengabdi untuk menciptakan siswa yang cedas
dan bermoral, tapi ternyata malah mengajarkan pada dunia pendidikan di
kalangan/mata masyarakat, pendaftaran siswa/anak didik saja sudah banyak dan
mencetak mafia-mafia pungli dan korupsi. Belum lagi kejahatan pengelolaan
dana-dana pendidikan dalam bentuk dana BOS, pungli penyelenggaraan operasi
pendidikan lainnya, dana-dana hibah, proyek-proyek dalam mekanisme belanja
pengadaan barang dan jasa, dan berita sisi gelap lainnya dalam operasi dan
penyelenggaraan dunia pendidikan. (*)
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik dan Pembangunan di Banyuwangi
Editor : Hakim Said
"Tulis Judul Artikel lain di sini"