Oleh : Mawardin
Suhu politik nasional kembali menghangat dengan aneka
manuver elite dan partai politik (parpol) dalam menyongsong Pemilu 2024.
Partai-partai baru pun bermunculan memenuhi lapak demokrasi. Di sisi lain, pandemi
Covid-19 semakin mengganas.
Kontestasi elektoral masa mendatang akan dijepit oleh korona
sekaligus gelombang krisis. Tentu kehadiran parpol baru belakangan ini cukup
mengejutkan. Dalam situasi normal saja, betapa sulitnya menjaga stamina politik
bagi parpol baru. Apalagi dalam suasana new normal, tentu mereka akan
dihadapkan beban berlipat ganda.
Kompleksitas situasi ini penting digambarkan sebagai
peringatan dini bahwa peta jalan menuju kontestasi Pemilu 2024 dipenuhi
ketidakpastian. Jika merujuk pada matematika sebagai ilmu pasti, sederet data
politik kuantitatif terkini bisa menjadi panduan bagi pemain baru untuk
mengelola ketidakpastian itu, setidaknya meminimalkan risiko.
Faktor Pemicu
Sampai akhir Juni 2021, tercatat lebih dari sepuluh partai
baru bermunculan. Ada parpol yang sudah berstatus badan hukum, ada juga yang
belum memperoleh pengesahan, mungkin juga sedang mengurus legalitasnya dari
Kementerian Hukum dan HAM.
Partai-partai baru tersebut adalah Partai Gelombang Rakyat
(Gelora) Indonesia, Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Era Masyarakat
Sejahtera (Emas), Partai UKM Indonesia, Partai Indonesia Terang (PIT), Partai
Hijau Indonesia, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).
Kita juga disuguhi kemunculan Partai Dakwah Rakyat Indonesia
(PDRI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1945, Partai Indonesia Damai (PID),
Partai Demokrasi Rakyat Indonesia Sejahtera (PDRIS), Partai Swara Rakyat
Indonesia (Parsindo), Partai Nusantara, dan Partai Negeri Daulat Indonesia
(Pandai).
Banyak faktor yang menyebabkan parpol baru berkecambah
setiap menjelang pemilu. Ada partai baru yang didirikan sebagai implikasi dari
konflik internal yang membelit partai lamanya. Lalu, sejumlah partai baru yang
menggunakan simbol agama, nasionalis, dan ”campuran” nasionalis-religius
sebagai refleksi keberagaman masyarakat Indonesia tak henti mencoba
peruntungan.
Kedatangan partai baru terkadang dipengaruhi oleh romantisme
terhadap kekuatan politik tertentu yang berkibar pada zaman Orde Lama maupun
Orde Baru. Kembang kempis parpol baru tak pernah sepi pula dari sekadar
gaya-gayaan dan kegenitan politisi musiman. Praktisnya, parpol adalah wadah
kanalisasi hasrat kuasa elite untuk bergulat di gelanggang demokrasi melalui
pemilu.
Semakin Kompetitif
Berdasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, parpol baru yang
diperbolehkan mengikuti pemilu haruslah memiliki kepengurusan di seluruh
provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan kepengurusan 50 persen kecamatan. Sulit
dimungkiri, persyaratan untuk lolos verifikasi faktual di KPU agar menjadi
peserta Pemilu 2024 bukanlah perkara gampang.
Di tengah persepsi publik terhadap parpol yang bernada
minor, parpol dituntut untuk membangun infrastruktur kepengurusan di tingkat
pusat dan daerah. Semuanya membutuhkan jaringan massa yang mengakar, dana yang
memadai untuk operasional partai, dan ketokohan yang kuat untuk merebut
perhatian audiens.
Jika parpol baru telah memenuhi syarat-syarat administratif
sebagai kontestan, pekerjaan rumah selanjutnya, seberapa besar peluangnya untuk
menaklukkan ambang batas parlemen 4 persen. Paling mungkin, parpol baru
membidik suara swing voters (pemilih mengambang) dan undecided voters (pemilih
yang belum menentukan pilihan). Juga menggerus basis konstituen partai lama.
Namun, tak mudah juga mengubah pemilih. Lagi pula,
partai-partai lama akan terus bergerak merawat konstituen agar tidak terjadi
migrasi suara ke kutub lain. Karena itu, selain tokoh atraktif yang punya
magnet elektoral, partai baru mesti mengemas diferensiasi dan distingsi
program, gairah organisasi, dan jejaring aktor yang menawarkan kebaruan.
Becermin pada hasil Pemilu 2019, tidak ada satu pun parpol
baru yang lolos ke Senayan. Partai Perindo hanya mampu meraup 2,67 persen
suara; Partai Berkarya memperoleh 2,09 persen; PSI meraih 1,89 persen; dan
Partai Garuda hanya 0,50 persen. Bahkan, parpol lama seperti Partai Hanura
terdepak dari DPR pada Pemilu 2019. Nasib serupa juga dialami PBB sejak Pemilu
2009 hingga 2019, gagal menembus ambang batas parlemen. Demikian pula PKPI,
belum sekali pun lolos ke Senayan dari Pemilu 1999 hingga 2019.
Pelajaran Berharga
Parpol baru tetap berpeluang untuk meraih dukungan publik.
Kalau kita menggeser jarum sejarah partai baru di kepemiluan, Partai Nasdem
sukses menduduki kursi Senayan dengan 6,7 persen suara pada Pemilu 2014. Mundur
ke belakang lagi, pada Pemilu 2009, parpol baru seperti Gerindra berhasil
mendapatkan 4,5 persen suara, termasuk Hanura. Tapi, ironisnya Hanura gagal
mempertahankan kursi Senayan pada Pemilu 2019.
Jauh melintasi waktu, Partai Demokrat ibarat ”bayi ajaib”
pada Pemilu 2004, sukses mendulang 7,4 persen suara. Pada Pemilu 1999, terdapat
tiga parpol baru yang bertengger pada posisi moncer, yakni PDIP (33,74 persen),
PKB (12,61 persen), dan PAN (7,12 persen).
Potret keberhasilan sejumlah parpol baru mewartakan
signifikansi variabel tokoh. Misalkan Nasdem yang mengandalkan Surya Paloh dan
Gerindra yang identik dengan Prabowo Subianto. Pun Demokrat yang diasosiasikan
dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Hanura yang bertumpu pada Wiranto. Begitu
pula PDIP dengan karisma Megawati Soekarnoputri, PKB berkat ketokohan Gus Dur,
dan PAN lewat pengaruh Amien Rais.
Di negara-negara lain, ada beberapa kisah sukses parpol baru
yang patut dipelajari. Di Prancis, misalnya, kemenangan Partai La Republique en
Marche (LREM) berhasil menyabet kursi di parlemen pada Pemilu 2017. Bahkan,
pimpinan LREM Emmanuel Macron meraih posisi sebagai presiden Prancis.
Aktivis politik Indonesia juga dapat menyerap energi
keberhasilan Partai Demosisto di Hongkong yang dipelopori generasi milenial
seperti Joshua Wong dan Nathan Law. Partai yang kesohor dengan ”Gerakan Payung”
itu mengikuti Pemilu 2016 dan mampu unjuk gigi sebagai simpul kekuatan politik
militan di Parlemen Hongkong.
Mampukah parpol baru di tanah air memodifikasi dan
mengadaptasikan jejak kemenangan LREM dan Demosisto sesuai dengan konteks
politik elektoral di Indonesia? Namun, melihat matematika elektoral kekinian,
parpol baru tidak boleh setengah hati bertarung, tapi harus mati-matian politik.
(*)
"Tulis Judul Artikel lain di sini"