Oleh : Anang Iskandar
Hukuman penjara yang dijatuhkan oleh hakim, dalam memeriksa
perkara narkotika yang terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan sebagai
penyalahguna untuk diri sendiri (direktori keputusan mahkamah agung) adalah
anomali pemidanaan.
Kenapa begitu ?
Karena, hanya hakim di Indonesia yang menghukum penjara
penyalahguna (drug user), meskipun
indonesia menganut rezim mengancam penyalahguna secara pidana sedangkan
pemidanaannya berupa rehabilitasi.
Hakim di seluruh dunia, tidak ada lagi yang menghukum penjara
atau bentuk hukuman lain selain rehabilitasi meskipun terbukti bersalah
memiliki, menguasai narkotika untuk dikonsumsi, baik masuk dalam yuridiksi hukum
pidana, maupun non pidana.
Indonesia sejak berundang-undang narkotika, selalu
mencantumkan bahwa pemidanaan terhadap penyalahguna dan pecandu berupa
pemidanaan alternatif berupa menjalani rehabilitasi meskipun penyalahgunanya
diancam secara pidana.
Alternatif pemidanaan berupa rehabilitasi tersebut, dinyatakan
secara jelas disetiap UU Narkotika yang dibuat pemerintah dan DPR bahwa masa
menjalani rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim diperhitungkan sebagai
masa menjalani hukuman. Maknanya rehabilitasi atas keputusan atau penetapan
hakim adalah hukuman bagi penyalahguna narkotika.
Dalam UU Narkotika yang berlaku sekarang ini, hakim dalam
memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika diberi kewajiban untuk memperhatikan
taraf ketergantungan narkotika terdakwanya (pasal 54), status pidananya (pasal
55 yo 128) dan memperhatikan kewenangan yang diberikan UU Narkotika bahwa hakim
dapat memutuskan terdakwa menjalani rehabilitasi bila terbukti bersalah dan
menetapkan menjalani rehabilitasi bila ltidak terbukti bersalah (pasal 103).
Tempat menjalani rehabilitasi bagi penyalahguna atas
perintah hakim baik berupa keputusan maupun penetapan di rumah sakit atau
lembaga rehabilitasi yang ditunjuk
(pasal 56)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011, rumah
sakit dan lembaga rehabilitasi yang melayani perawatan terhadap penyalah guna
disebut Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang tugasnya melakukan perawatan
bagi penyalahguna narkotika baik melalui wajib lapor bagi penyalahguna maupun
melalui keputusan atau penetapan hakim untuk memerintahkan terdakwa penyalahguna
supaya menjalani rehabilitasi.
Akibat anomali pemidanaan bagi penyalahguna narkotika,
terjadi pula anomali hunian lapas di Indonesia, tidak hanya over kapasitas,
tetapi juga menjadi sasaran peredaran gelap narkotika dan menjadi lokasi menggunakan
narkotika bagi penyalahguna yang menjadi warga binaan.
Dan juga terjadinya residivisme perkara penyalahgunaan
narkotika, merambahnya penyalahgunaan narkotika sampai ke desa-desa dan
suburnya peredaran gelap narkotika yang dapat berakibat terjadinya lost
generation.
Siapa Penyalahguna Itu
?
Penyalahguna itu adalah orang yang menggunakan narkotika
tanpa hak dan melanggar hukum (pasal 1/15) yang berpotensi menjadi pecandu.
Harap dibedakan penyalahguna dengan pengedar. Bila penyalahguna narkotika
tersebut di visum atau di assesmen akan diketahui taraf ketergantungannya.
Jika hasil visum et repertum atau assesmen menyatakan tidak
ketergantungan karena baru pertama kali menggunakan narkotika apalagi karena
dirayu, diperdaya, ditipu, dibujuk atau dipaksa menggunakan narkotika, maka
penyalahguna tersebut tergolong sebagai korban penyalahgunaan narkotika.
Jika hasil visum et repertum atau assesmen menyatakan
ketergantungan narkotika dengan taraf tertentu, maka penyalahguna tersebut
termasuk pecandu narkotika. Penyalahguna baik sebagai korban penyalahgunaan
narkotika maupun sebagai pecandu narkotika, secara yuridis wajib menjalani
rehabikitasi (pasal 54).
Bagaimana Aturan Pemidanaannya
?
Indonesia secara resmi menggunakan aturan pemidanaa
alternatif berupa rehabilitasi sejak meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika
Tahun 1976 dengan UU No 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
beserta protokol yang merubahnya.
Indonesia berpengalaman tiga kali berganti Undang-Undang Narkotika,
yaitu UU No 9 Tahun 1976, kemudian diganti dengan UU No 7 Tahun 1997 dan yang
terakhir adalah UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang saat ini berlaku.
Ketiga UU Narkotika tersebut menganut rezim tidak menghukum
pidana bagi penyalahguna, pemidanaan bagi penyalahguna berupa pidana alternatif
yaitu menjalani rehabilitasi meskipun diancam secara pidana.
UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berlaku sekarang
ini lebih detail dalam menentukan tujuan dibuatnya UU Narkotika, yaitu menjamin pengaturan upaya rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu (pasal 4d).
Itu sebabnya hakim (pasal 127/2) diberi kewajiban UU dalam
memeriksa perkara penyalahguna untuk memperhatikan unsur yang meringankan yaitu
keterangan kondisi taraf ketergantungannya (pasal 54), unsur pemaaf yaitu kalau
melakukan wajib lapor dan mendapatkan perawatan, status pidananya menjadi tidak
dituntut pidana (pasal 55 yo128) dan unsur kewajiban hakim untuk menggunakan
pasal 103 yaitu dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti maupun
tidak terbukti bersalah.
Rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim adalah proses
penyembuhan bukan proses pidana atau pemenjaraan, tidak memerlukan pengamanan
khusus selama menjalani rehabilitasi. Orang tua diberi kewajiban untuk
melaporkan ke IPWL bila menjadi pecandu (relapse), kalau sengaja tidak
melaporkan anaknya ke IPWL untuk mendapatkan perawatan diancam dengan pidana 6
bulan kurungan. Biaya rehabilitasi dibebankan pada negara dianggarkan pada
anggaran IPWL dibawah Kemkes, Kemsos dan BNN.
Praktik Pemidanaannya
Bagaimana ?
Sejak berlakunya UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
tujuannya diperjelas, yaitu menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu.
Tetapi dalam praktiknya pemidanaan terhadap penyalahguna
melenceng dari tujuan UU Narkotika, abai terhadap unsur yang meringankan dan
unsur pemaaf serta unsur kewajiban yang diberikan UU kepada hakim, yaitu hakim
dapat memutuskan atau menetapkan penyalahguna menjalani rehabilitasi meskipun
terbukti bersalah.
Di titik ini, menurut catatan saya anomali pemidanaan menyebabkan
anomali hunian lapas, terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika, yang
dampaknya merugikan negara.
Saya menyarankan kepada Pemerintah dan DPR untuk meluruskan penegakan hukum terhadap
penyalahgunaan narkotika yang merugikan semua pihak, baik pemerintah, penyalahguna
sendiri dan keluarganya serta masyarakat secara luas.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Selamatkan penyalahgunanya dan penjarakan pengedarnya….!
Editor : Hakim Said
"Tulis Judul Artikel lain di sini"