Pandemi Covid-19 masih terus berlangsung. Semua bidang
kehidupan terdampak, salah satunya adalah bidang sosial. Dibanding bidang
ekonomi yang sama sama terdampak, bidang ini (ekonomi) lebih masif, nyata dan
bisa dengan mudah dikalkulasi efek buruknya. Sementara bidang sosial lebih
lembut, tersembunyi, tidak langsung sulit dikalkulasi serta memerlukan jangka
waktu panjang untuk mengukur dampak buruknya. Pernikahan anak dibawah umur misalnya,
lebih merupakan dampak ikutan dari dampak induknya, yakni ekonomi. Meningkatnya
kasus perkawinan anak akhir-akhir ini tidak bisa dibiarkan, harus dihentikan. Jika
tidak ada perhatian atau dibiarkan akan berpengaruh terhadap kualitas SDM
Indonesia di masa yang akan datang.
Merujuk berbagai sumber berita (online, maupun verbal) bahwa
pernikahan anak dibawah umur telah meningkat selama pandemi berlangsung,
terutama di wilayah-wilayah Indonesia bagian timur. Komnas perempuan mencatat
bahwa sepanjang tahun 2019 ke 2020 pernikahan anak meningkat dari 23,126 kasus
pada tahun 2019, menjadi 64,211 kasus pada tahun 2020. Sementara angka
dispensasi kawin melonjak 500% dibanding
angka dispensasi kawin tahun 2018 (Tribunnews.com,2021).
BBC.com indonesia, mencatat sepanjang Januari hingga Juni
2020 badan Peradilan Agama Indonesia
telah menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan
mereka yang belum berusia 19 tahun. Pada kasus yang lebih spesifik, Dinas
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (KB) NTB
mencatat telah terjadi 500 kasus
perkawinan anak selama pandemi Covid-19.
Meski belum ada informasi atau data yang terkonfirmasi, bisa
jadi kasus perkawinan anak dibawah umur terjadi juga di sekitaran kita selama
masa pandemi, apalagi jika wabah ini terus berlangsung dalam jangka waktu yang
lama. Dalam sebuah perbincangan rilek, suatu hari barber (pemotong rambut)
pernah mengeluhkan bahwa salah satu saudara perempuannya yang tiggal di
tetangga desa telah melangsungkan
pernikahan dan memilih putus sekolah dari salah satu SLTA.
Dampak Aktifitas
Daring
Meski menjadi faktor dominan, sebenranya kasus perkawinan
anak tidak semata karena sebab ekonomi.
Ada sebab-sebab lain diluar ekonomi. Aktivitas serba daring bisa jadi
berkontribusi meningkatkan kasus perkawinan anak dibawah umur. Sebelum masa
pandemi, anak-anak dilarang memiliki apalagi membawa HP/gawai ke sekolah,
tetapi keadaan itu berubah ketika dimasa pandemi. Anak-anak sekolah harus
memiliki dan menggunakan HP/gawai sebagai salah satu media pembelajaran pengganti
pembelajaran tatap muka. Terlepas dari beberapa keterbatasn, pembelajaran
daring dengan media HP telah mampu menjaga dan menjamin keberlangsungan layanan
pembelajaran dan /atau pendidikan untuk anak-anak disebagian besar wilyah
Indonesia, jenjang dan satuan sekolah. Bukan hanya pembelajaran yang harus berdaring,
akan tetapi juga aktivitas lainnya.
Meski demikian, memanfaatan HP bagi anak-anak harus tetap
dilakukan dengan hati-hati dibawah kontrol ketat orangtua. Dibalik
keunggulanya, HP adalah pisau bermata dua. Jika penggunaannya benar akan
mendatangkan kemanfaatan, jika salah menggunaknanya akan mendatangkan kemudharatan.
Sebagai aktivitas psikis yang banyak menguras energi, belajar,
termasuk belajar daring-berpotensi menimbulkan kejenuhan dan lelelahan, apalagi
jika tugas-tugas yang diberikan guru melebihi kapasitas normal jam pembelajaran
hingga memangkas waktu istirahat dan bermain
anak-anak. Disinilah letak kerawanan itu. Dengan beragam aplikasi yang ada di HP, anak-anak
bisa saja sengaja atau tidak mengakses konten-konten dewasa yang belum seharusnya dilakukan oleh mereka. Masa
pencarian jati diri dengan meniru apa-apa yang dilihat oleh anak-anak bisa
mendorong mereka melakukan seperti apa yang dilihatnya. Mereka lupa diri dan terobsesi melakukan
seperti yang mereka saksikan di sejumlah konten HP itu.
Tentu fenomena ini menjadi bagian lain yang tak kalah seriusnyan
dari pekerjaan kita menghentikan penyebaran Covid-19 dan mengatasi dampak
buruknya baik dibidang ekonomi maupun kesehatan. Karena, sekali lagi untuk bisa
melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga, seseorang memerlukan
kesiapan yang matang, matang biologis, matang sosial, matang mental, dan paling
penting adalah matang secara ekonomi, sehingga dari hubungan pasangan tersebut melahirkan
generasi yang berkualitas.
Dan penting kiranya bagi pihak-pihak berkepentingan,
misalnya Dewan Pendidikan segera turun lapang
menelisik kondisi di sekolah-sekolah untuk mendapatkan gambaran dan data
yang sebenarnya tentang kasus/kondisi ini. Hal ini menjadi penting sebagai
dasar pijakan dalam merumuskan strategi kebijakan pendidikan dan/atau
pembelajaran dimasa pandemi maupun dimasa-masa akan datang tanpa ada pandemi.
Sebab pemanfaatan HP bagi anak-anak dalam situasi apapaun harus tetap dalam
kontrol orangtua atau orang dewasa lain agar terhindar dari penggunaan yang
tidak pada tempatnya dan dampak buruk yang menyertainya. (*)
_____________________
Editor : Hakim Said
"Tulis Judul Artikel lain di sini"